Sabtu, 02 April 2016

Isn't it?

Diantara banyaknya cerita dalam hidupku, bagian dari cerita inilah yang aku pilih.
****

            “Jadi bagaimana? Apakah kau ikut?” Oh, dia menanyakannya lagi. Aku sudah menjawab pertanyaan ini dengan balasan tidak berkali - kali dan dia tetap saja terus menanyakannya untuk yang kesekian kalinya. Aku bosan, sungguh. Dia ini entah mengerti apa yang aku ucapkan atau tidak.
            “Sudah kukatakan berkali - kali aku mengatakan tidak padamu. Apakah kau tuli?” Aku sungguh tak tahan dengannya jadi mungkin jika aku sedikit berkata kasar dia akan mengerti.
“Tapi, ayolah acara ini sungguh mengasyikkan. Akan ada banyak strangers tampan disana, Ele.” Tukasnya tak mau kalah.
“Bianca, i’d told u before. I won’t, okay?”
“Um, please Ele. Just the last time uh?”
“OKAY, I’M DONE. FINE.” Dan kalian tahu apa? Dia berjingkrak seperti sedang mendapatkan hadiah undian miliar jutaan.
“Kau tidak sedang membohongiku ‘kan?” Katanya meyakinkan.
“Kau pikir aku sedang bergurau?”
 “Tentu saja tidak”
            Setelahnya kamipun bersiap-siap dan langsung pergi menuju Coachella. Ya, Bianca mengajakku pergi ke tempat dimana festival musik dan seni internasional itu berlangsung. Hanya sebuah crop tee tanpa lengan di lapisi kemeja kotak-kotak berwarna biru yang tidak di kancingkan, hot pants pendek berwarna jeans, sepasang sepatu kets, dan yang terakhir sling bag berwarna coklat di lengan kananku. Ku rasa aku kekurangan sesuatu. Ah! Beanie hat. Perfect!. Berbeda denganku, Bianca mengenakan Setelah memakan waktu diperjalanan selama 15 menit sampailah kami festival ini. Bianca memarkirkan mobilnya di sebuah parkiran yang sudah disiapkan. well, ternyata tempat ini lumayan–oke. Sangat–ramai dikunjungi juga. Pada saat kami sampai di depan lapangan besar ini terpampang jelas tulisan ‘Welcome to Coachella Valley Music and Arts Festival’. Here we go!
            Apa kalian tau Coachella itu apa? Mari kuberitahu, Coachella adalah festival musik terbesar yang juga sering dikunjungi oleh para artis Hollywood. Jadi, selama aku dan Bianca mengelilingi tempat ini kami selalu bertemu dengan artis-artis Holywood. Nah, lihat, didepanku ada seorang Kristen Stewart artis yang membintangi sebuah film vampir. Salah satu alasan mengapa aku menolak datang ke acara ini: terlalu banyak artis dengan segala kemewahannya, juga para orang dari kalangan atas. Walaupun aku tidak miskin tapi tetap saja aku risih berada disini. Aku merasa ini bukan tempatku. Aku seharusnya berada dirumah, membaca novelku sembari memakan oreo dan capucchino kesukaanku. Tapi, sialnya untuk saat ini itu hanya jadi bayangan bagiku saja. Sungguh menyebalkan.
“Ele, awa–“ Entah apa yang akan dikatakan Bianca selanjutnya sewaktu kami melihat-lihat festival ini, karena setelah itu aku merasa ada sebuah benda yang amat sangat keras menghantam bahuku. For god’s sake.
Astaga siapa yang menabrakku, huh? Aku tau hanya bahuku yang tertabrak, ya setidakknya dia melilhatku yang sedang berjalan ini. “Apa kau memiliki mata yang rusak? Atau kaki yang cacat sehingga bisa menabraku yang jelas-jelas jalan ini begitu lenggang dan tidak terlalu padat?” Aku mengumpat seraya berbalik badan–Binca juga mengikutiku– untuk melihat siapa orang yang dengan tidak tahu dirinya menabrakku.
Dan orang yang menabrakku pun berhenti dan berbalik badan lalu kamipun berhadapan. Aku menundukan kepala seraya mengusap bahu, memang tidak terlalu sakit sih  hanya sedikit perih. Sungguh, aku geram sekali terhadap manusia di depanku ini. Wow, he is a comittee.
“Whoa, calm down gurl. Aku tak melihatmu. Aku sedang terburu-buru. Maaf.”
Baru saja aku ingin menimpali perkataannya itu sambil memberi tatapan garang milikku tetapi Bianca–yang pasti sudah tau hal ini akan terjadi dan tak akan membiarkannya–langsung mendahului diriku. Lantas aku menoleh pada Bianca dan menatapnya.
Are you ok, Ele?” Tanya bianca padaku.
“Aku yakin temanmu akan baik-baik saja. Sampai jumpa! Dan maaf untuk kedua kalinya.” Lalu lelaki itupun pergi. Yap! Bagus sekali. Aku tak melihat siapa yang menabrakku hanya karna orang menyebalkan di sampingku ini. Ugh!
“Betapa menyebalkannya dia, astaga, Bi. Kau juga. Aku ingin memarahinya tadi. Tetapi kau malah mendahuluiku.”
“Karna aku tahu kalian pasti akan bertengkar mengingat sifatmu yang ‘mudah terpancing’”
Akhirnya kami melanjutkan untuk mengelilingi Coachella setelah tertunda akibat lelaki menyebalkan tadi.
“Jadi apakah kau baik-baik saja? Kau terus mengusap bahumu, Ele”
“Kau bertanya padaku, Bi? Sungguh?” aku menjawab dengan nada sakarstik
“Apa yang salah?” dan ketika kau seperti ini aku rasanya ingin menenggelamkanmu di laut Asia, Bi.
“Lupakan.”
But, Ele, lelaki tadi tampan. Bukankah dia cukup menarik, eh?”
Tampan katanya? Cih. Lelaki tampan tidak akan berbuat semenyebalkan itu.
“Dari mana kau bisa mengatakan dia tampan setelah melihat sikap dia padaku tadi, Bi?” ujarku membantah apa yang dikatan Bianca.
“Astaga, Ele, jangan bersikap seperti itu hanya karena dia menabrakmu. Dia kan sudah bilang dia tak melihatmu tadi. Ah, dan dia meminta maaf. Dua kali.”
“Kau membelanya? Bi, kau menyebalkan.” Berapa banyak kata ‘menyebalkan’ yang sudah kuucapkan dalam kurun waktu kurang dari 1 jam? Silahkan hitung.
“Aku tak membelanya, lagipula dia sudah meminta maaf, Ele.”
“Bisakah kita hentikan omong kosong ini? Moodku bisa hancur.” Ya, moodku yang sudah hancur akan semakin hancur jika mempermaslahkan hal sepele ini.


****
Setelah aku dan Bianca menghabiskan waktu untuk menikmati acara disini, akhirnya kami memutuskan untuk ke panggung utama. Seperti yang Bianca bilang bahwa sekarang adalah waktunya musik DJ. Aku suka aliran musik ini. Selain R&B, Jazz, dan Pop, tentunya aku suka musik yang aliran DJ ini. Aliran musik ini membuatmu merasa youg, wild, and free pada saat yang bersamaan dan aku sangat suka hal itu.
Kami memilih tempat yang tak terlalu dekat atau jauh dari panggung. Lalu, sang DJ pun naik ke atas panggung. Sorak-sorak mulai terdengaran, lighting yang menyorot panggung, respon yang penonton beri dengan menggerakan tubuh mereka. Aku jadi penasaran siapa DJ kali ini. Tunggu, bukankah baju itu terlihat tak asing? Um lelaki yang menabrakku? Well, aku hanya dapat melihat baju yang dia kenakan serta name tag yang menggantung di lehernya itu. Ingat bukan aku hanya menunduk? Nah.  Diakah si lelaki menyebalkan? Dia seorang DJ?
“Ele, bukankah dia adalah orang yang menabrak kau tadi?” Tanya Binca.
“Y– ya dia lelaki itu,”
“Tapi aku tak terlalu yakin itu adalah dia. Maksudku, aku bahkan hanya melihat baju yang ia kenakan saja.”, Tambahku.
“Aku yakin dialah orangnya, Ele. Dia seorang DJ? Sungguh diluar dugaanku. Dia cocok  untuk menjadi DJ menurutku dengan wajah tampannya itu.” Ucap Bianca dengan nada semangatnya.
“Kurasa kau menyukainya, Bi”
“Eh? Um, aku hanya mengaguminya. Mugkin.” Bahkan kau menjawabnya dengan nada gugupmu itu, Bi.
“Oh” aku bingung harus mengatakan apa lagi
“Hello everybody. How ya feel tonight?” Ucap lelaki itu didepan alat DJnya menggunakan mic dan menyebabkan para penonton berteriak histeris.
“Okay, enjoy guys!” Setelah lelaki itu mengatakannya tak lama terdengarlah alunan-alunan musik yang ia mainkan menggema di seontereo tempat ini. Semua orang bergerak mengikuti alunan musik itu, sama seperti Bianca. Aku? Aku hanya terus menatap sang DJ. Terus menatapnya hingga mata kami saling bertemu dan ia tersenyum padaku. Cukup lama kami berpandangan dan dia memutuskan kontak fisik itu. Aku bukan terpesona sehingga tak berhenti menatapnya, sama sekali bukan, aku hanya– um bingung mungkin? Entahlah.
Semua orang disini menikmati musiknya. Semua orang berteriak dan bergerak heboh. Bianca tak henti-hentinya mengatakan, “Ini sungguh luar biasa bukan?” Aku hanya membalasnya dengan anggukan atau senyuman atau bahkan kekehan. Aku memikirkan lelaki diatas sana. Sang DJ yang mampu menggemparkan acara ini. Aku ingin beretemu dengannya. Entah untuk apa. Aku hanya ingin hal itu.
Musik DJ pun berganti dengan band yang lain dan kali ini lagu-lagu yang memabukkan yang dibawakan.
“Bi, aku harus ke toilet sepertinnya.” Kataku pada Bianca.
Dia menghentikan tanngannya yang tadinya diudara lalu melihatku, “Baiklah, ayo.”
            “Eh? Maksudku, sendiri. Kau lanjutkan saja. Dah!” Aku langsung pergi dari hadapan Bianca dan menuju backstage panggung mencari lelaki itu.
            Aku sangat ingat sekali wajah itu. Pertamanya aku tak mengenalinya, akan tetapi ketika di panggung tadi aku teringat akan sosok yang sangat familiar bagiku. Dia adalah seseorang yang dulu aku kagumi, seseorang yang dulu aku kejar, dan seseorang yang sangat aku utamakan. Dia segalanya bagiku, dulu.
Aku beberapa kali menabrak badan pengunjung lain dan memegangi tasku agar tidak terjatuh atau hal buruk lainnya. Lalu, sampailah aku di sebuah tenda berwarna putih berbentuk segi lima di belakang panggung. Sembari menunggu dia selesai dengan kegiatannya aku memperhatikan terus sosoknya yang berbeda dari beberapa tahun silam.
Ini adalah impiannya. Aku tahu itu. Dia pernah mengatakan ingin menjadi seorang entertaiment jika sudah dewasa nanti. Dan keinginnanya pun terwujud pada saat ini. Tak terasa musik mulai berhenti dan diganti dengan alunan musik R&B yang dibawakan oleh artis lain. Dia meberi beberapa senyuman dan kata-kata kepada kru panggung dan turun. Ia melihatku. Pandangan matanya menunjukkan keterkejutan tetapi dengan cepat ia ganti dengan wajah bahagianya.
“Hai” tibalah saat dia menatapku bediri didepanku sembari meminum sebuah coke. Puberty hit him like a truck.
“Kau ingat aku?”
“Kau berkata seperti itu seoah-olah kita tak bertemu selama 10 tahun.” Dia pun tertawa kecil.
“Tetapi pada kenyataannya memang begitu, Aaron.” Dia adalah Aaron. Sahabat sekaligus orang yang aku sayang melebihi sahabat.
“Kita bahas ini nanti, Ele”
“Setelah 10 tahun? Begitukah? Kau pasti bercanda. Aku ingin bertanya banyak hal padamu.” Paksaku agar Aaron tak pergi begitu saja.
“Baiklah. Aku akan mengurus beberapa hal. Tunggu disini.” Ia pun berbalik tapi kutahan lengannya seraya berkata,
“Kau juga mengatan itu saat kau pergi meninggalkanku sendirian, dulu.” Aku menunduk tak berani menatap matanya. Aku takut akan satu hal dari mata itu.
“Kupastikan kali ini tak akan sama. Aku janji.” Senyuman itu. senyuman yang sudah lama tak pernah kulihat kini terlihat kembali. Ku lepaskan genggaman tanganku padanya lalu menatap pnggung kokohnya memasuki sebuah tenda putih berbentuk prsegi lima itu dengan tatapan yang bingung kuartikan sendiri dinamakan apa.
Aku merindukan sosok Aaron, sangat.

****

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar