Diantara
banyaknya cerita dalam hidupku, bagian dari cerita inilah yang aku pilih.
****
“Jadi bagaimana? Apakah kau ikut?” Oh,
dia menanyakannya lagi. Aku sudah menjawab pertanyaan ini dengan balasan tidak
berkali - kali dan dia tetap saja terus menanyakannya untuk yang kesekian
kalinya. Aku bosan, sungguh. Dia ini entah mengerti apa yang aku ucapkan atau
tidak.
“Sudah kukatakan berkali - kali aku
mengatakan tidak padamu. Apakah kau tuli?” Aku sungguh tak tahan dengannya jadi
mungkin jika aku sedikit berkata kasar dia akan mengerti.
“Tapi, ayolah acara ini sungguh
mengasyikkan. Akan ada banyak strangers tampan disana, Ele.” Tukasnya tak mau
kalah.
“Bianca, i’d told u before. I won’t,
okay?”
“Um, please Ele. Just the last time uh?”
“OKAY, I’M DONE. FINE.” Dan kalian tahu
apa? Dia berjingkrak seperti sedang mendapatkan hadiah undian miliar jutaan.
“Kau tidak sedang membohongiku ‘kan?” Katanya
meyakinkan.
“Kau pikir aku sedang bergurau?”
“Tentu saja tidak”
Setelahnya kamipun bersiap-siap dan langsung
pergi menuju Coachella. Ya, Bianca mengajakku pergi ke tempat dimana festival
musik dan seni internasional itu berlangsung. Hanya sebuah crop tee tanpa lengan di lapisi kemeja kotak-kotak berwarna biru
yang tidak di kancingkan, hot pants
pendek berwarna jeans, sepasang
sepatu kets, dan yang terakhir sling bag berwarna coklat di lengan
kananku. Ku rasa aku kekurangan sesuatu. Ah! Beanie hat. Perfect!. Berbeda denganku, Bianca mengenakan Setelah
memakan waktu diperjalanan selama 15 menit sampailah kami festival ini. Bianca
memarkirkan mobilnya di sebuah parkiran yang sudah disiapkan. well, ternyata
tempat ini lumayan–oke. Sangat–ramai dikunjungi juga. Pada saat kami sampai di
depan lapangan besar ini terpampang jelas tulisan ‘Welcome to Coachella Valley
Music and Arts Festival’. Here we go!
Apa kalian tau Coachella itu apa? Mari kuberitahu, Coachella adalah festival musik terbesar yang juga sering
dikunjungi oleh para artis Hollywood. Jadi, selama aku dan Bianca mengelilingi
tempat ini kami selalu bertemu dengan artis-artis Holywood. Nah, lihat,
didepanku ada seorang Kristen Stewart artis yang membintangi sebuah film
vampir. Salah satu alasan mengapa aku menolak datang ke acara ini: terlalu
banyak artis dengan segala kemewahannya, juga para orang dari kalangan atas.
Walaupun aku tidak miskin tapi tetap saja aku risih berada disini. Aku merasa
ini bukan tempatku. Aku seharusnya berada dirumah, membaca novelku sembari
memakan oreo dan capucchino kesukaanku. Tapi, sialnya untuk saat ini itu hanya
jadi bayangan bagiku saja. Sungguh menyebalkan.
“Ele, awa–“ Entah apa yang akan dikatakan
Bianca selanjutnya sewaktu kami melihat-lihat festival ini, karena setelah itu
aku merasa ada sebuah benda yang amat sangat keras menghantam bahuku. For god’s sake.
Astaga
siapa yang menabrakku, huh? Aku tau hanya bahuku yang tertabrak, ya setidakknya
dia melilhatku yang sedang berjalan ini. “Apa kau memiliki mata yang rusak?
Atau kaki yang cacat sehingga bisa menabraku yang jelas-jelas jalan ini begitu
lenggang dan tidak terlalu padat?” Aku mengumpat seraya berbalik badan–Binca
juga mengikutiku– untuk melihat siapa orang yang dengan tidak tahu dirinya
menabrakku.
Dan orang yang menabrakku pun berhenti
dan berbalik badan lalu kamipun berhadapan. Aku menundukan kepala seraya
mengusap bahu, memang tidak terlalu sakit sih
hanya sedikit perih. Sungguh, aku
geram sekali terhadap manusia di depanku ini. Wow, he is a comittee.
“Whoa, calm down gurl. Aku tak melihatmu. Aku sedang terburu-buru. Maaf.”
Baru saja aku ingin menimpali
perkataannya itu sambil memberi tatapan garang milikku tetapi Bianca–yang pasti
sudah tau hal ini akan terjadi dan tak akan membiarkannya–langsung mendahului
diriku. Lantas aku menoleh pada Bianca dan menatapnya.
“Are
you ok, Ele?” Tanya bianca padaku.
“Aku yakin temanmu akan baik-baik saja.
Sampai jumpa! Dan maaf untuk kedua kalinya.” Lalu lelaki itupun pergi. Yap!
Bagus sekali. Aku tak melihat siapa yang menabrakku hanya karna orang
menyebalkan di sampingku ini. Ugh!
“Betapa menyebalkannya dia, astaga, Bi.
Kau juga. Aku ingin memarahinya tadi. Tetapi kau malah mendahuluiku.”
“Karna aku tahu kalian pasti akan
bertengkar mengingat sifatmu yang ‘mudah terpancing’”
Akhirnya kami melanjutkan untuk
mengelilingi Coachella setelah
tertunda akibat lelaki menyebalkan tadi.
“Jadi apakah kau baik-baik saja? Kau
terus mengusap bahumu, Ele”
“Kau bertanya padaku, Bi? Sungguh?” aku menjawab
dengan nada sakarstik
“Apa yang salah?” dan ketika kau seperti ini aku rasanya ingin menenggelamkanmu di laut
Asia, Bi.
“Lupakan.”
“But,
Ele, lelaki tadi tampan. Bukankah dia cukup menarik, eh?”
Tampan katanya? Cih. Lelaki tampan tidak
akan berbuat semenyebalkan itu.
“Dari mana kau bisa mengatakan dia
tampan setelah melihat sikap dia padaku tadi, Bi?” ujarku membantah apa yang
dikatan Bianca.
“Astaga, Ele, jangan bersikap seperti
itu hanya karena dia menabrakmu. Dia kan sudah bilang dia tak melihatmu tadi.
Ah, dan dia meminta maaf. Dua kali.”
“Kau membelanya? Bi, kau menyebalkan.”
Berapa banyak kata ‘menyebalkan’ yang sudah kuucapkan dalam kurun waktu kurang
dari 1 jam? Silahkan hitung.
“Aku tak membelanya, lagipula dia sudah
meminta maaf, Ele.”
“Bisakah kita hentikan omong kosong ini?
Moodku bisa hancur.” Ya, moodku yang sudah hancur akan semakin hancur jika
mempermaslahkan hal sepele ini.
****
Setelah aku dan Bianca menghabiskan
waktu untuk menikmati acara disini, akhirnya kami memutuskan untuk ke panggung
utama. Seperti yang Bianca bilang bahwa sekarang adalah waktunya musik DJ. Aku suka aliran musik ini. Selain
R&B, Jazz, dan Pop, tentunya aku suka musik yang aliran DJ ini. Aliran
musik ini membuatmu merasa youg, wild,
and free pada saat yang bersamaan dan
aku sangat suka hal itu.
Kami memilih tempat yang tak terlalu
dekat atau jauh dari panggung. Lalu, sang DJ pun naik ke atas panggung. Sorak-sorak
mulai terdengaran, lighting yang
menyorot panggung, respon yang penonton beri dengan menggerakan tubuh mereka.
Aku jadi penasaran siapa DJ kali ini. Tunggu, bukankah baju itu terlihat tak
asing? Um lelaki yang menabrakku? Well, aku hanya dapat melihat baju yang
dia kenakan serta name tag yang
menggantung di lehernya itu. Ingat bukan aku hanya menunduk? Nah. Diakah si lelaki menyebalkan? Dia seorang DJ?
“Ele, bukankah dia adalah orang yang
menabrak kau tadi?” Tanya Binca.
“Y– ya dia lelaki itu,”
“Tapi aku tak terlalu yakin itu adalah dia. Maksudku, aku bahkan hanya melihat
baju yang ia kenakan saja.”, Tambahku.
“Aku yakin dialah orangnya, Ele. Dia
seorang DJ? Sungguh diluar dugaanku. Dia cocok untuk menjadi DJ menurutku dengan wajah
tampannya itu.” Ucap Bianca dengan nada semangatnya.
“Kurasa kau menyukainya, Bi”
“Eh? Um, aku hanya mengaguminya.
Mugkin.” Bahkan kau menjawabnya dengan nada gugupmu itu, Bi.
“Oh” aku bingung harus mengatakan apa
lagi
“Hello
everybody. How ya feel tonight?” Ucap lelaki itu didepan alat DJnya
menggunakan mic dan menyebabkan para
penonton berteriak histeris.
“Okay,
enjoy guys!”
Setelah lelaki itu mengatakannya tak lama terdengarlah alunan-alunan musik yang
ia mainkan menggema di seontereo tempat ini. Semua orang bergerak mengikuti
alunan musik itu, sama seperti Bianca. Aku? Aku hanya terus menatap sang DJ.
Terus menatapnya hingga mata kami saling bertemu dan ia tersenyum padaku. Cukup
lama kami berpandangan dan dia memutuskan kontak fisik itu. Aku bukan terpesona
sehingga tak berhenti menatapnya, sama sekali bukan, aku hanya– um bingung
mungkin? Entahlah.
Semua orang disini menikmati musiknya. Semua orang berteriak dan bergerak heboh. Bianca tak henti-hentinya
mengatakan, “Ini sungguh luar biasa bukan?” Aku hanya membalasnya dengan
anggukan atau senyuman atau bahkan kekehan. Aku memikirkan lelaki diatas sana.
Sang DJ yang mampu menggemparkan acara ini. Aku ingin beretemu dengannya. Entah
untuk apa. Aku hanya ingin hal itu.
Musik DJ pun berganti dengan band yang
lain dan kali ini lagu-lagu yang memabukkan yang dibawakan.
“Bi, aku harus ke toilet sepertinnya.”
Kataku pada Bianca.
Dia menghentikan tanngannya yang tadinya
diudara lalu melihatku, “Baiklah, ayo.”
“Eh? Maksudku, sendiri. Kau
lanjutkan saja. Dah!” Aku langsung pergi dari hadapan Bianca dan menuju backstage panggung mencari lelaki itu.
Aku sangat ingat sekali wajah itu.
Pertamanya aku tak mengenalinya, akan tetapi ketika di panggung tadi aku
teringat akan sosok yang sangat familiar bagiku.
Dia adalah seseorang yang dulu aku
kagumi, seseorang yang dulu aku kejar,
dan seseorang yang sangat aku utamakan.
Dia segalanya bagiku, dulu.
Aku beberapa kali menabrak badan
pengunjung lain dan memegangi tasku agar tidak terjatuh atau hal buruk lainnya.
Lalu, sampailah aku di sebuah tenda berwarna putih berbentuk segi lima di
belakang panggung. Sembari menunggu dia
selesai dengan kegiatannya aku memperhatikan terus sosoknya yang berbeda dari
beberapa tahun silam.
Ini adalah impiannya. Aku tahu itu. Dia pernah mengatakan ingin menjadi
seorang entertaiment jika sudah
dewasa nanti. Dan keinginnanya pun terwujud pada saat ini. Tak terasa musik
mulai berhenti dan diganti dengan alunan musik R&B yang dibawakan oleh
artis lain. Dia meberi beberapa
senyuman dan kata-kata kepada kru panggung dan turun. Ia melihatku. Pandangan
matanya menunjukkan keterkejutan tetapi dengan cepat ia ganti dengan wajah bahagianya.
“Hai” tibalah saat dia menatapku bediri didepanku sembari meminum sebuah coke. Puberty hit him like a truck.
“Kau ingat aku?”
“Kau berkata seperti itu seoah-olah kita
tak bertemu selama 10 tahun.” Dia pun
tertawa kecil.
“Tetapi pada kenyataannya memang begitu,
Aaron.” Dia adalah Aaron. Sahabat
sekaligus orang yang aku sayang melebihi sahabat.
“Kita bahas ini nanti, Ele”
“Setelah 10 tahun? Begitukah? Kau pasti
bercanda. Aku ingin bertanya banyak hal padamu.” Paksaku agar Aaron tak pergi
begitu saja.
“Baiklah. Aku akan mengurus beberapa
hal. Tunggu disini.” Ia pun berbalik tapi kutahan lengannya seraya berkata,
“Kau juga mengatan itu saat kau pergi
meninggalkanku sendirian, dulu.” Aku menunduk tak berani menatap matanya. Aku
takut akan satu hal dari mata itu.
“Kupastikan kali ini tak akan sama. Aku
janji.” Senyuman itu. senyuman yang sudah lama tak pernah kulihat kini terlihat
kembali. Ku lepaskan genggaman tanganku padanya lalu menatap pnggung kokohnya
memasuki sebuah tenda putih berbentuk prsegi lima itu dengan tatapan yang
bingung kuartikan sendiri dinamakan apa.
Aku merindukan sosok Aaron, sangat.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar